Example floating
Example floating
BeritaOpini

Negeri yang Hebat Berpesta Saat Pahlawannya Dilupakan

20
×

Negeri yang Hebat Berpesta Saat Pahlawannya Dilupakan

Sebarkan artikel ini
Negeri yang Hebat Berpesta Saat Pahlawannya Dilupakan
Dok. Moch Thoriqil Akmal.//SuaraFaktual.id

SUARA FAKTUAL – Setiap tanggal 10 November, bangsa ini selalu mengenakan baju perjuangan. Ada yang mengenakan seragam pahlawan di sekolah, ada yang membuat spanduk bertuliskan “Selamat Hari Pahlawan”, dan ada juga yang menulis caption di Instagram: “Jadilah pahlawan minimal untuk dirimu sendiri.

Di tengah gegap gempita itu, terselip satu pertanyaan yang jarang disuarakan: masih adakah pahlawan, atau kita cuma pandai memperingatinya tanpa meneladani apa pun?

Zaman dulu, pahlawan itu melawan penjajah. Sekarang, pahlawan melawan algoritma. Kalau dulu Soedirman naik gunung dengan paru-paru tinggal separuh, kini pahlawan zaman digital naik trending topic dengan akun cadangan tiga.

Dulu peluru adalah senjata penjajah, sekarang komentar jahat dan hujatan adalah peluru netizen. Dulu Bung Tomo berteriak “Allahu Akbar!” di Surabaya, sekarang influencer berteriak “Link di bio ya, guys!” di TikTok.

Kita ini bangsa yang kreatif bahkan memperingati perjuangan pun bisa dijadikan konten edukatif berdurasi 59 detik.

Kadang disertai musik latar “Tanah Airku” dengan filter aesthetic.

Yang penting engagement-nya naik, soal nilai perjuangan nanti bisa diedit di caption.

Entah sejak kapan kita lebih sibuk memperjuangkan pendapat daripada memperjuangkan kebenaran.

Kalau dulu perjuangan itu menuntut kemerdekaan, sekarang perjuangan adalah menuntut views, followers, dan sponsorship.

Para pahlawan dulu tidak punya kamera, tapi wajah mereka diabadikan di uang kertas.

Kita hari ini punya kamera canggih, tapi tidak pernah abadi dalam nilai.

Bahkan ketika kita memperingati Hari Pahlawan, banyak yang lebih sibuk membuat poster digital dengan wajah sendiri berdampingan dengan Bung Karno, lengkap dengan kutipan yang entah dari mana sumbernya.

Misalnya:

“Bung Karno pernah bilang, jangan tanyakan apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyakan kapan endorse-an datang.”

Lucunya, banyak yang percaya. Karena memang, di zaman ini, satir dan realita sudah sulit dibedakan.

Peringatan Hari Pahlawan di banyak tempat masih sama: upacara di bawah terik matahari, pembacaan puisi, lalu makan nasi kotak.

Tiap tahun, pidatonya tak jauh beda:

“Kita harus meneladani semangat perjuangan para pahlawan.”

Namun setelah acara selesai, semangat itu menguap bersama sisa teh manis dalam dus.

Monumen perjuangan dipenuhi debu, makam pahlawan sunyi, tapi mall penuh dengan diskon bertema “Promo Hari Pahlawan”.

Ya, bangsa kita memang hebat: perjuangan pun bisa dijadikan marketing strategy.

Sementara generasi muda hafal tanggal 10 November karena sale online, bukan karena Pertempuran Surabaya.

Kalau dulu pahlawan mengenakan seragam hijau tua dan membawa senjata, sekarang pahlawan mengenakan jas rapi dan membawa tanda tangan proyek.

Kalau dulu pahlawan gugur di medan perang, sekarang gugur di medan politik, tersandung kasus korupsi.

Ada juga pahlawan-pahlawan instan mereka muncul di televisi, berbicara lantang tentang nasionalisme, lalu diam saat rekeningnya diperiksa.

Kita, masyarakat, sering bingung membedakan antara nasionalis sejati dan nasionalis proyek.

Yang satu mencintai bangsa tanpa pamrih, yang satu mencintai anggaran dengan sepenuh hati.

Di pelosok desa, masih banyak orang yang hidup seperti pahlawan tapi tak pernah disebut.

Guru honorer yang gajinya lebih kecil dari uang parkir mall, bidan desa yang berjaga di tengah malam tanpa jaminan kesehatan, nelayan yang tetap melaut meski BBM naik merekalah pahlawan yang tak diundang di upacara.

Namun bangsa ini lebih sibuk mengundang artis nasional sebagai pembicara tentang “Semangat Kepahlawanan”.

Padahal semangat itu sudah ada di warung, di sawah, di jalan-jalan, tapi kita terlalu sibuk menatap layar untuk melihatnya.

Bayangkan kalau Bung Tomo hidup di zaman sekarang.

Ia mungkin akan membuat podcast berjudul “Semangat 45: Dari Surabaya ke Spotify”.

Pidatonya viral, lalu ia diundang ke acara talkshow:

“Bung Tomo, bagaimana tips menjaga semangat nasionalisme di tengah algoritma yang toksik?”

Sementara Bung Hatta mungkin akan ditanya,

“Apakah koperasi masih relevan di era e-commerce, Bung?”

Dan Bung Karno?

Mungkin akun TikTok-nya sudah centang biru, dengan jutaan pengikut, dan komentar penuh perdebatan antara “Nasakom” dan “nasib kaum rebahan.”

Dulu, pahlawan berjuang untuk memerdekakan rakyat.

Sekarang, kita berjuang untuk tidak tersinggung.

Setiap kritik dianggap serangan, setiap perbedaan dianggap penghinaan.

Padahal, bangsa ini berdiri di atas semangat perbedaan.

Kita ini bangsa yang sangat peka bukan pada penderitaan, tapi pada komentar negatif.

Perjuangan kita kini bukan lagi melawan penjajahan fisik, tapi melawan diri sendiri yang malas berpikir kritis.

Setiap menjelang pemilu, banyak “pahlawan dadakan” muncul di baliho.

Mereka tersenyum dengan tangan mengepal, bertuliskan “Berjuang untuk rakyat!”

Tapi setelah terpilih, yang diperjuangkan adalah jatah proyek rakyat.

Pahlawan sejati tidak butuh panggung, tapi pahlawan zaman sekarang justru membangun panggung sebelum berjuang.

Bangsa ini terlalu murah hati memberi gelar “pahlawan” bahkan kepada orang yang hanya berjasa pada dirinya sendiri.

Hari Pahlawan seharusnya jadi waktu untuk refleksi: apakah bangsa ini masih punya idealisme seperti dulu?

Atau kita hanya tinggal puing-puing semangat yang dipajang tiap November?

Pahlawan sejati tak butuh diperingati, cukup diteruskan perjuangannya.

Namun sayang, yang kita teruskan justru upacara dan formalitas.

Spiritnya tertinggal di tumpukan arsip, di balik kata sambutan, di dalam naskah pidato yang dibaca setengah hati.

Menjadi pahlawan hari ini tak harus berperang cukup jujur di negeri yang gemar basa-basi.

Cukup disiplin di lingkungan yang santai dengan pelanggaran.

Cukup berani berkata benar di tengah budaya asal aman.

Tapi, itu justru perjuangan yang paling berat.

Karena di zaman sekarang, kejujuran bisa membuatmu kehilangan pekerjaan, sementara kebohongan bisa memberimu jabatan.

Jadi, mungkin benar kata seorang teman:

“Pahlawan masa kini bukan yang gugur di medan perang, tapi yang masih bisa waras di tengah gempuran absurditas.”

Hari Pahlawan adalah cermin: bukan untuk menatap masa lalu, tapi untuk menilai wajah kita hari ini.

Apakah kita masih pantas menyebut diri sebagai bangsa yang diperjuangkan dengan darah dan air mata?

Atau kita hanya pewaris nama besar tanpa rasa malu?

Pahlawan dulu mengorbankan nyawa demi bangsa, sementara kita mengorbankan nilai demi kenyamanan.

Mereka berperang dengan senjata, kita berperang dengan alasan.

Maka, sebelum kita membuat unggahan “Selamat Hari Pahlawan”, mungkin ada baiknya kita bertanya dalam hati:

“Kalau para pahlawan itu hidup kembali, apa mereka masih bangga melihat kita?” (Moch Thoriqil Akmal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *